Di zaman serba digital seperti sekarang, kehadiran internet dan media sosial memang membawa banyak kemudahan. Kita bisa terhubung dengan siapa saja, kapan saja, dan berbagi berbagai informasi. Tapi, di sisi lain, kemudahan ini juga seringkali menjadi pisau bermata dua. Kritik dan hujatan, sayangnya, menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap digital. Kata-kata pedas, komentar negatif, bahkan fitnah, bisa dengan mudah dilemparkan oleh siapa saja tanpa perlu bertatap muka. Hal ini tentu bisa menggoyahkan ketenangan hati, mengganggu fokus, bahkan merusak mental.
Bagi seorang muslim, menghadapi situasi semacam ini tentu membutuhkan kebijaksanaan dan pegangan yang kuat. Islam, sebagai agama yang sempurna, telah membekali umatnya dengan panduan lengkap untuk menghadapi berbagai tantangan hidup, termasuk di era digital ini. Bagaimana seorang muslim seharusnya menyikapi kritik dan hujatan agar hati tetap tenang, jiwa tetap damai, dan langkah tetap fokus pada kebaikan? Mari kita telaah lebih dalam.
Memahami Esensi Kritik dan Hujatan dalam Bingkai Islam
Sebelum melangkah lebih jauh, penting untuk membedakan antara kritik yang membangun dan hujatan yang merusak. Kritik, jika disampaikan dengaiat baik, data yang valid, dan cara yang santun, bisa menjadi cermin untuk kita berbenah diri. Dalam Islam, introspeksi dan perbaikan diri adalah hal yang sangat dianjurkan. Bahkaabi Muhammad SAW pun, meski maksum, senantiasa menerima masukan dari para sahabatnya.
Namun, hujatan adalah cerita yang berbeda. Hujatan seringkali dilandasi oleh kebencian, iri hati, atau ketidaksukaan semata, tanpa dasar yang jelas dan tujuan yang konstruktif. Hujatan bertujuan menjatuhkan, mencela, dan menebarkan permusuhan. Allah SWT sendiri telah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an tentang pentingnya menjaga lisan dan tidak berburuk sangka. Firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Ayat ini jelas menggambarkan bagaimana Islam melarang keras perbuatan mencari-cari kesalahan dan menggunjing, yang merupakan akar dari hujatan. Sebagai muslim, kita harus berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perilaku ini, baik sebagai pelaku maupun sebagai penyebar.
Fondasi Muslim Menghadapi Negativitas: Sabar dan Pemaaf
Ketika dihadapkan pada kritik yang pedas atau bahkan hujatan, dua sifat mulia yang harus senantiasa kita genggam erat adalah kesabaran dan pemaaf. Kesabaran adalah kunci untuk menahan diri dari reaksi emosional yang justru bisa memperburuk keadaan. Allah SWT sangat memuji orang-orang yang bersabar:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Dengan bersabar, kita mampu mengambil jeda, menenangkan diri, dan merespons dengan kepala dingin. Nabi Muhammad SAW juga bersabda: “Bukanlah orang yang kuat itu yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Selain sabar, sifat pemaaf juga merupakan akhlak yang sangat dianjurkan. Memaafkan orang yang telah menyakiti kita, bahkan dengan kata-kata tajam di dunia maya, adalah tanda kebesaran jiwa. Allah SWT berfirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133-134)
Memaafkan tidak berarti kita lemah, justru sebaliknya, itu menunjukkan kekuatan hati dan kematangan iman.
Baca juga ini : Tenangkan Hati di Era Media Sosial: Menggapai Kebahagiaan Sejati dengan Syukur dan Fokus pada Diri Sendiri Ala Islam
Ketenangan Hati: Senjata Utama Menghadapi Badai Digital
Bagaimana cara menjaga ketenangan hati di tengah riuhnya kritik dan hujatan digital? Ada beberapa amalan dalam Islam yang bisa menjadi “tameng” bagi hati kita:
- Dzikir dan Doa: Mengingat Allah adalah penawar terbaik bagi kegelisahan. Dzikir, seperti membaca tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir, akan menenangkan hati. Allah berfirman, “Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28). Berdoalah memohon perlindungan dari segala keburukan dan kekuatan untuk bersabar.
- Introspeksi (Muhasabah): Jika ada kritik yang datang, luangkan waktu untuk merenung. Apakah ada kebenaran dalam kritik tersebut, meskipun disampaikan dengan cara yang tidak baik? Jika ya, gunakan itu sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri. Jika tidak, maka abaikan dan serahkan semuanya kepada Allah.
- Fokus pada Hal Positif: Jangan biarkan energi dan pikiran terkuras habis untuk memikirkan hujatan. Alihkan fokus pada hal-hal yang lebih bermanfaat, seperti mengembangkan diri, beribadah, atau melakukan kebaikan.
- Memahami Keterbatasan Manusia: Sadari bahwa tidak semua orang akan menyukai kita, dan itu adalah hal yang wajar. Kita tidak bisa mengontrol pikiran dan perasaan orang lain. Yang bisa kita kontrol adalah bagaimana kita meresponsnya.
Terus Melaju dengan Kebaikan, Abaikan Hujatan
Tujuan utama dari kritik yang destruktif dan hujatan adalah untuk menjatuhkan semangat dan menghentikan langkah kita. Sebagai seorang muslim, jangan sampai kita terjebak dalam perangkap ini. Tetaplah fokus pada niat awal kita untuk berbuat baik dan menyebarkan manfaat.
Ingatlah bahwa setiap amal perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Selama niat kita lurus karena Allah, dan perbuatan kita sesuai dengan syariat, maka pujian maupun celaan manusia tidak akan memengaruhi nilai amal kita di mata-Nya. Nabi Muhammad SAW bersabda: “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia menyeru Jibril: ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia!’ Lalu Jibril mencintainya, kemudian Jibril menyeru penduduk langit: ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah dia!’ Lalu penduduk langit mencintainya. Kemudian ditetapkanlah penerimaan baginya di bumi.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa yang terpenting adalah cinta Allah, bukan sanjungan manusia.
Gunakan platform digital untuk menyebarkan kebaikan, ilmu yang bermanfaat, dan pesan-pesan positif. Jadikan diri kita sebagai agen perubahan yang membawa cahaya, bukan yang menambah kegelapan.
Baca juga ini : Tazkiyatuafs: Membersihkan Jiwa, Meraih Ketenangan dan Kedekatan Ilahi
Membangun Lingkungan Digital yang Sehat dan Positif
Lingkungan digital kita sangat memengaruhi kondisi mental dan emosional. Oleh karena itu, penting untuk secara aktif membangun lingkungan digital yang sehat:
- Filter Informasi: Seleksi informasi yang masuk. Hindari konten-konten yang penuh kebencian, provokatif, atau tidak bermanfaat. Ikuti akun-akun yang inspiratif, edukatif, dan menyebarkan kebaikan.
- Batasi Waktu Layar: Terlalu banyak terpapar media sosial bisa membuat kita rentan terhadap dampak negatif. Tentukan batas waktu penggunaan dan manfaatkan waktu luang untuk berinteraksi di dunia nyata atau melakukan kegiatan bermanfaat laiya.
- Berinteraksi Positif: Jadilah pengguna media sosial yang santun. Balas komentar dengan baik, berikan dukungan, dan hindari konflik yang tidak perlu. Ingatlah etika berkomunikasi dalam Islam.
- Blokir atau Abaikan: Jika ada akun yang secara terus-menerus menyebarkan kebencian atau hujatan, jangan ragu untuk memblokir atau mengabaikaya. Kesehatan mental kita lebih penting daripada membalas setiap komentar negatif.
Menghadapi kritik dan hujatan di era digital memang bukan perkara mudah. Namun, sebagai seorang muslim, kita memiliki bekal yang luar biasa dari ajaran Islam untuk menghadapinya dengan bijak. Kesabaran, pemaafan, dzikir, doa, dan fokus pada kebaikan adalah kunci utama untuk menjaga ketenangan hati. Dengan menjadikan Al-Qur’an dan Suah sebagai pedoman, kita bisa melangkah di dunia digital dengan jiwa yang tenang, hati yang damai, dan tetap produktif dalam menyebarkan manfaat. Mari terus berupaya menjadi muslim yang tangguh, tidak mudah goyah oleh badai digital, dan senantiasa istiqamah di jalan kebaikan.
