Di antara sembilan Wali Songo yang menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, nama Sunan Kudus bersinar dengan strategi dakwah yang unik dan penuh kearifan. Beliau adalah sosok ulama yang berhasil mengintegrasikailai-nilai Islam dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas asli masyarakat. Pendekatan dakwah Sunan Kudus yang mengedepankan toleransi dan akulturasi budaya telah meninggalkan warisan yang tak ternilai, baik dalam bentuk seni, arsitektur, maupuilai-nilai luhur yang masih relevan hingga kini.
Kabupaten Kudus, yang kini dikenal sebagai “Kota Kretek” dan “Kota Santri”, dulunya adalah pusat peradaban Hindu-Buddha yang kuat. Meneruskan perjuangan para wali laiya, Sunan Kudus datang membawa pesan Islam dengan cara yang damai, menghormati tradisi yang sudah ada, dan secara perlahan memperkenalkan ajaran tauhid. Kisah Sunan Kudus adalah pelajaran berharga tentang bagaimana Islam, sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, dapat disebarkan melalui jalur kebudayaan, keindahan, dan penghargaan terhadap sesama manusia.
Siapa Sunan Kudus? Menilik Jejak Sang Ulama Toleran
Nama asli Sunan Kudus adalah Ja’far Shadiq. Beliau adalah putra dari Sunagudung atau Raden Usman Haji, seorang panglima perang Kesultanan Demak yang juga merupakan keturunaabi Muhammad SAW dari jalur Husain bin Ali. Pendidikan agama yang kuat telah menggembleng beliau menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya, bahkan disebut-sebut pernah menuntut ilmu hingga ke tanah suci Makkah dan Palestina. Julukan “Kudus” sendiri disematkan karena beliau mendirikan sebuah kota suci yang mirip dengan Al-Quds (Yerusalem) di tanah Jawa, yang kini dikenal sebagai kota Kudus.
Kedatangan Sunan Kudus ke wilayah Jawa Tengah, khususnya daerah yang kini menjadi Kudus, bukanlah tanpa tantangan. Masyarakat setempat memiliki keyakinan dan adat istiadat yang telah mengakar kuat selama berabad-abad. Namun, dengan kecerdasan dan kebijaksanaaya, Sunan Kudus tidak memilih jalur konfrontasi, melainkan pendekatan yang lembut, bertahap, dan penuh pengertian. Beliau memahami bahwa hati manusia lebih mudah didekati dengan kasih sayang dan kearifan, bukan dengan paksaan atau penghinaan terhadap keyakinan mereka.
Baca juga ini : Memahami Konsep Halal Thayyiban dalam Kehidupan Muslim
Strategi Dakwah Toleransi: Menghormati Adat dan Kepercayaan Lokal
Salah satu strategi dakwah Sunan Kudus yang paling terkenal dan menjadi simbol toleransi adalah larangan menyembelih sapi bagi pengikutnya di daerah Kudus. Sapi merupakan hewan yang disucikan dalam agama Hindu. Untuk menghormati keyakinan umat Hindu yang merupakan mayoritas pada masa itu, Sunan Kudus mengganti hewan kurban sapi dengan kerbau saat perayaan Idul Adha. Kebijakan ini menunjukkan betapa besar rasa hormat beliau terhadap keyakinan lain, sebuah contoh nyata dari firman Allah SWT dalam Al-Quran:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama Islam, sesungguhnya telah jelas (perbedaan antara) jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256)
Selain itu, Sunan Kudus juga sangat piawai dalam memanfaatkan seni dan budaya lokal sebagai media dakwah. Gamelan, wayang, dan tembang-tembang Jawa yang populer di masyarakat digunakan untuk menyelipkailai-nilai dan ajaran Islam. Wayang kulit yang tadinya menceritakan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana diadaptasi dengan kisah-kisah Islami atau diinterpretasikan dengailai-nilai tauhid. Ini menjadikan Islam terasa dekat dan akrab dengan masyarakat, bukan sebagai ajaran asing yang mengancam budaya mereka.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yaitu berdakwah dengan hikmah (kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik, serta berdialog dengan cara yang lebih baik. (QS. An-Nahl: 125). Sunan Kudus memahami bahwa dakwah bukanlah tentang menghancurkan, melainkan membangun; bukan tentang memaksakan, melainkan mengajak dengan hati.
Akulturasi Budaya dalam Warisan Seni dan Arsitektur Islam
Warisan paling monumental dari strategi akulturasi Sunan Kudus dapat kita saksikan pada arsitektur Masjid dan Menara Kudus. Menara Kudus adalah contoh luar biasa dari perpaduan gaya arsitektur Hindu-Jawa dengan sentuhan Islam. Bentuk menara yang menyerupai candi Hindu lengkap dengan ornamen gerbang dan arca-arca kecil pada dasarnya, namun berfungsi sebagai menara adzan yang khas dalam tradisi Islam. Ini adalah simbol nyata bahwa Islam dapat berpadu harmonis dengan kebudayaan setempat tanpa kehilangan esensinya.
Masjid Agung Kudus atau yang juga dikenal sebagai Masjid Al-Aqsha, yang berdiri di samping menara, juga menampilkan arsitektur yang mempertahankan ciri khas Jawa, seperti atap tumpang atau limasan yang bersusun tiga, mirip dengan bangunan pura atau pendopo tradisional Jawa. Di dalam masjid, kita masih bisa menemukan peninggalan seperti padasan (tempat wudhu) dengan bentuk arca yang telah dimodifikasi, menunjukkan penghormatan terhadap bentuk-bentuk lama namun dengan fungsi yang telah di-Islamkan.
Akulturasi ini tidak hanya terbatas pada arsitektur. Seni ukir, kaligrafi, dan bahkan motif batik di Kudus juga menunjukkan perpaduan yang indah antara elemen Islam dan lokal. Kaligrafi Arab seringkali diukir dengan gaya yang selaras dengan ukiran Jawa yang rumit, menciptakan identitas seni yang unik dan kaya makna. Melalui medium-medium ini, nilai-nilai Islam tersebar dan meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, membentuk peradaban Islam Nusantara yang khas.
Baca juga ini : Peran LP3H Darul Asyraf dalam Membentuk Ekosistem Halal Indonesia
Pesan Keberagaman dan Harmoni dalam Ajaran Sunan Kudus
Toleransi dan akulturasi yang dipraktikkan oleh Sunan Kudus adalah cerminan dari ajaran Islam yang mengedepankan keberagaman dan harmoni. Beliau menunjukkan bahwa dakwah Islam tidak harus menghapus semua yang telah ada, tetapi bisa berdialog, beradaptasi, dan memperkaya. Pesan ini semakin relevan di era modern, di mana dunia menghadapi berbagai tantangan konflik dan perpecahan atas nama perbedaan.
Dalam Islam, persaudaraan (ukhuwah) tidak hanya terbatas pada sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah), tetapi juga persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah) dan bahkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah). Sunan Kudus telah memberikan contoh nyata bagaimana ukhuwah basyariyah diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui penghormatan terhadap keyakinan dan tradisi yang berbeda.
Warisan Sunan Kudus mengajarkan kita pentingnya menjaga kerukunan antarumat beragama, menghargai perbedaan sebagai anugerah, dan memanfaatkan budaya sebagai jembatan untuk menyampaikan pesan-pesan kebaikan. Beliau berhasil menciptakan masyarakat yang Islamis, namun tetap kaya akan identitas budaya lokal, menunjukkan bahwa Islam dan budaya dapat berjalan beriringan bahkan saling menguatkan.
Pendekatan dakwah Sunan Kudus yang mengutamakan toleransi dan akulturasi adalah model yang patut diteladani. Beliau tidak hanya membangun masjid dan menara, tetapi juga membangun jembatan hati antarumat beragama, menanamkailai-nilai keislaman yang moderat, inklusif, dan damai. Warisan Sunan Kudus terus menginspirasi kita untuk menjadi pribadi yang bijaksana, menghargai keberagaman, dan senantiasa berdakwah dengan cara yang paling baik dan penuh kasih sayang.
Kudus kini tidak hanya menjadi saksi bisu sejarah penyebaran Islam, tetapi juga menjadi monumen hidup dari sebuah dakwah yang berhasil merangkul tanpa memaksakan, yang mengislamkan tanpa menghilangkan identitas. Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua, bagaimana Islam dapat hadir sebagai solusi, membawa kedamaian, dan memperkaya peradaban di mana pun ia berada.
