Jauh di timur Nusantara, terbentang gugusan pulau vulkanik yang menyimpan sejarah gemilang, yaitu Maluku Utara. Di sanalah, dua kesultanan besar berdiri tegak, Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore, menjadi mercusuar peradaban, pusat perdagangan rempah-rempah yang memikat dunia, sekaligus benteng penyebaran agama Islam yang membawa cahaya ke penjuru timur Indonesia. Kisah mereka bukan sekadar narasi tentang kekuasaan dan kekayaan, melainkan juga tentang perjuangan, diplomasi, dan akulturasi budaya yang membentuk identitas Maluku hingga hari ini.
Awal Mula dan Terbitnya Cahaya Islam
Sebelum Islam datang, masyarakat di wilayah Maluku Utara telah memiliki sistem kekuasaan lokal yang dikenal sebagai “kolano” atau raja. Mereka hidup dari hasil bumi, terutama rempah-rempah seperti cengkeh dan pala yang tumbuh subur di tanah vulkanik yang kaya hara. Kedatangan para pedagang Muslim dari Arab, Persia, India, dan Gujarat pada sekitar abad ke-14 dan 15 membawa angin perubahan. Para pedagang ini tidak hanya berdagang, tetapi juga menyebarkan ajaran Islam dengan cara damai, melalui interaksi sosial, pernikahan, dan teladan akhlak yang mulia. Raja Ternate yang pertama kali memeluk Islam adalah Kolano Marhum atau Gapi Baguna pada abad ke-15, yang kemudian diikuti oleh Raja Tidore. Peristiwa ini menandai dimulainya era kesultanan Islam di Maluku. Nama mereka pun berubah, tidak lagi Kolano, melainkan Sultan.
Ajaran Islam yang dibawa menekankan pada keadilan, persaudaraan, dan etika berdagang yang jujur. Hal ini selaras dengailai-nilai luhur yang sudah ada di masyarakat setempat, sehingga Islam diterima dengan tangan terbuka. Proses islamisasi ini juga dipercepat karena para sultan melihat Islam sebagai agama yang membawa kemajuan dan tatanan sosial yang lebih baik. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)
Ayat ini menjadi landasan bagi para penyebar Islam di Ternate dan Tidore untuk berdakwah dengan kebijaksanaan dan cara-cara yang santun, sehingga Islam bisa berkembang pesat tanpa paksaan.
Maluku: Jantung Perdagangan Rempah Dunia
Julukan “Spice Islands” atau Kepulauan Rempah adalah identitas yang tak terpisahkan dari Maluku Utara, dan khususnya Ternate serta Tidore. Tanah mereka adalah surga bagi cengkeh dan pala, dua komoditas yang nilainya sangat tinggi di pasar Eropa dan Asia pada masa itu. Para pedagang dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong datang ke pelabuhan-pelabuhan Ternate dan Tidore untuk mendapatkan “emas hijau” ini. Rempah-rempah ini bukan hanya bumbu dapur, melainkan juga bahan pengawet makanan, obat-obatan, hingga simbol status sosial. Keberadaan rempah inilah yang menarik bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris untuk datang, mengubah peta politik dan ekonomi kawasan.
Baca juga ini : Pelabuhausantara: Gerbang Syiar Islam dan Jalur Rempah yang Berkah
Kesultanan Ternate: Penguasa Laut dan Rempah
Kesultanan Ternate, yang didirikan pada tahun 1257, menjelma menjadi salah satu kekuatan maritim dan ekonomi terbesar di Nusantara bagian timur. Dengan armada laut yang kuat, Ternate berhasil menguasai jalur perdagangan rempah-rempah, bahkan memperluas pengaruhnya hingga ke Sulawesi, Mindanao, dan Papua. Sultan Baabullah (1570-1583), yang dikenal sebagai “Penguasa 72 Pulau”, adalah salah satu tokoh paling heroik dalam sejarah Ternate. Di bawah kepemimpinaya, Ternate mencapai puncak kejayaan dan berhasil mengusir Portugis dari benteng mereka di Ternate pada tahun 1575. Keadilan dan kekuatan militer menjadi ciri khas kepemimpinan Sultan Baabullah, menjadikaya figur yang disegani kawan maupun lawan. Kekuasaan Ternate juga didukung oleh struktur pemerintahan yang terorganisir dengan baik, serta jaringan ulama yang aktif menyebarkan Islam ke wilayah-wilayah kekuasaan mereka.
Kesultanan Tidore: Rival Abadi dan Penjaga Kedaulatan
Tidak jauh dari Ternate, di pulau tetangga, berdiri Kesultanan Tidore. Hubungan Ternate dan Tidore seringkali diwarnai persaingan sengit, baik dalam perebutan pengaruh politik maupun dominasi perdagangan rempah. Namun, persaingan ini juga mendorong kedua kesultanan untuk terus mengembangkan kekuatan dan strategi mereka. Tidore, yang juga kaya akan rempah, memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan kekuatan di Maluku. Ketika Ternate bersekutu dengan Belanda, Tidore seringkali mencari dukungan dari Spanyol untuk mempertahankan kedaulatan dan kepentingaya. Sultauku (1797-1805) adalah pahlawan besar Tidore yang berhasil menyatukan kekuatan lokal, termasuk Ternate, untuk melawan penjajahan Belanda dan mengembalikan kejayaan Tidore. Perjuangan Sultauku menunjukkan semangat jihad mempertahankan kemerdekaan dan martabat umat Islam.
Peran Sentral dalam Penyebaran Islam di Timur Indonesia
Lebih dari sekadar pusat ekonomi, Kesultanan Ternate dan Tidore adalah lokomotif penyebaran Islam di kawasan timur Indonesia. Para sultan menjadikan Islam sebagai landasan hukum dan moral dalam pemerintahan mereka. Ulama-ulama dari kesultanan ini menyebar ke berbagai pulau, mengajarkan Al-Qur’an, hadis, serta tata cara ibadah. Pernikahan antara keluarga kesultanan dengan bangsawan lokal di wilayah taklukan juga menjadi salah satu strategi efektif dalam proses islamisasi. Arsitektur masjid, seni ukir, hingga adat istiadat lokal perlahan disesuaikan dengailai-nilai Islam, menciptakan akulturasi budaya yang unik dan indah. Islam di Maluku tidak datang sebagai penakluk, melainkan sebagai pembawa pesan damai dan kemajuan.
Baca juga ini : Cahaya Ilmu dari Khazanah Islam: Menjelajahi Sejarah Perpustakaan dan Tradisi Literasi yang Gemilang
Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia laiya.” (HR. Ahmad)
Hadis ini mencerminkan semangat para sultan dan ulama di Ternate dan Tidore yang tidak hanya memikirkan kekuasaan dan kekayaan, tetapi juga berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat melalui penyebaran ilmu dan ajaran agama.
Warisan Gemilang yang Abadi
Meskipun kejayaan perdagangan rempah telah memudar seiring perubahan zaman dan sistem kolonial, warisan Kesultanan Ternate dan Tidore tetap kokoh. Islam yang mereka sebarkan telah berakar kuat di hati masyarakat Maluku Utara dan sekitarnya. Jejak-jejak sejarah bisa kita lihat dari peninggalan keraton, masjid-masjid kuno, benteng-benteng pertahanan, hingga tradisi dan adat istiadat yang masih terjaga. Nama-nama seperti Ternate dan Tidore akan selalu dikenang sebagai dua pilar utama peradaban Islam di timur Indonesia, yang tidak hanya membentuk identitas spiritual, tetapi juga turut serta dalam membangun jaringan perdagangan global dan menjaga martabat bangsa di tengah gempuran kolonialisme.
Kisah mereka adalah pengingat bahwa di balik kekayaan alam yang melimpah, ada semangat keislaman yang kuat dan perjuangan tanpa henti untuk menegakkan keadilan serta kemerdekaan. Generasi muda saat ini bisa belajar banyak dari kegigihan, diplomasi, dan kecerdasan para pemimpin Ternate dan Tidore dalam menghadapi tantangan zaman. Sebuah sejarah yang patut kita banggakan dan terus kita lestarikan.
