Share
2

Haya’: Mahkota Akhlak Muslim, Menjaga Kehormatan dengan Keberanian

by Darul Asyraf · 24 September 2025

Dalam ajaran Islam, membangun karakter yang positif adalah sebuah perjalanan spiritual dan moral yang tak pernah usai. Salah satu pilar penting dalam membentuk kepribadian mulia seorang Muslim adalah haya’. Istilah ini seringkali diterjemahkan sebagai ‘rasa malu’, namun maknanya jauh lebih dalam dan komprehensif, mencakup kesopanan, harga diri, dan ketakutan akan teguran Allah SWT. Haya’ bukanlah kelemahan atau sikap pasif, melainkan sebuah kekuatan yang menuntun pada kebaikan, sekaligus menyeimbangkan antara kesantunan dan keberanian. Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana Islam mengajarkan tentang haya’ sebagai akhlak mulia, serta bagaimana kita bisa menumbuhkaya untuk membangun karakter yang kokoh dan seimbang.

Apa Itu Haya’? Lebih dari Sekadar Malu Biasa

Kata haya’ berasal dari akar kata yang sama dengan al-hayat (hidup) dan al-hayat (hujan). Ini menyiratkan bahwa haya’ itu menghidupkan hati dan jiwa, sebagaimana hujan menghidupkan bumi yang kering. Dalam konteks akhlak, haya’ adalah perasaan yang mencegah seseorang melakukan perbuatan buruk atau tercela, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah SWT. Ini adalah filter internal yang membimbing perilaku menuju kebaikan dan menjauhi kemaksiatan.

Haya’ bukan sekadar malu biasa yang sering kita rasakan saat melakukan kesalahan kecil. Ia adalah rasa malu yang timbul dari kesadaran akan kebesaran Allah, rasa hormat terhadap diri sendiri dan orang lain, serta keinginan untuk menjaga kehormatan. Seseorang yang memiliki haya’ akan berpikir dua kali sebelum melanggar syariat atau melakukan sesuatu yang akan mencoreng nama baiknya, nama baik keluarga, atau agamanya.

Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa haya’ adalah sifat yang membuat seseorang enggan melakukan sesuatu yang tidak pantas, baik karena takut dicela atau karena menghormati orang lain. Ini adalah perisai diri yang melindungi dari godaaafsu dan ajakan setan.

Haya’ dalam Al-Quran dan Hadits: Fondasi Keimanan

Kedudukan haya’ dalam Islam sangatlah tinggi. Nabi Muhammad SAW bersabda, Al-Haya’u minal iman (Malu itu sebagian dari iman). (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa haya’ bukanlah sifat remeh, melainkan inti dari keimanan itu sendiri. Semakin kuat iman seseorang, semakin besar pula rasa haya’-nya.

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda, Malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menegaskan bahwa haya’ selalu membawa dampak positif, baik bagi individu maupun masyarakat. Ia mendorong seseorang untuk berbuat baik, berkata jujur, dan berperilaku sopan.

Al-Quran juga banyak mengajarkan prinsip-prinsip yang melahirkan haya’, meskipun tidak selalu menggunakan kata haya’ secara langsung. Misalnya, perintah untuk menjaga pandangan dan kehormatan:

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangaya, dan memelihara kemaluaya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangaya, dan memelihara kemaluaya, dan janganlah menampakkan perhiasaya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat…

(QS. An-Nur: 30-31)

Ayat ini secara jelas mengajarkan aspek haya’ dalam menjaga diri dari perbuatan yang tidak pantas dan menjaga kesucian. Bahkan, dalam kisah Nabi Musa AS, Al-Quran menggambarkan beliau sebagai sosok yang pemalu namun memiliki kekuatan:

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan kemalu-maluan (karena malu kepada Musa)…

(QS. Al-Qasas: 25)

Ini menunjukkan bahwa sifat malu yang terpuji adalah bagian dari karakter para Nabi dan orang-orang saleh. Malu di sini adalah malu yang luhur, bukan malu yang menghalangi kebaikan.

Baca juga ini : Perisai Akhlak di Era Digital: Panduan Lengkap Orang Tua Muslim Melindungi Anak dari Pornografi Online

Menyeimbangkan Haya’ dengan Keberanian: Kekuatan dalam Kelembutan

Seringkali, orang salah memahami haya’ sebagai sifat pengecut atau pasif. Padahal, haya’ yang benar justru menjadi landasan bagi keberanian yang bijaksana. Seorang Muslim yang memiliki haya’ tidak akan gentar dalam menyampaikan kebenaran (amar ma’ruf nahi munkar) atau membela hak-haknya, selama ia melakukaya dengan cara yang santun dan beradab. Keberanian ini bukan keberanian yang sembrono atau tanpa perhitungan, melainkan keberanian yang dilandasi oleh kesadaran akan batasan syariat dan menjaga etika.

Contohnya, seorang Muslimah yang memiliki haya’ akan berani menolak ajakan yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya, meskipun harus menghadapi tekanan sosial. Ini bukan pengecut, melainkan bentuk keberanian yang teguh dalam memegang prinsip. Demikian pula seorang pria yang memiliki haya’ akan berani membela kehormatan keluarganya atau orang yang dizalimi, namun tetap menjaga adab dan tidak berlebihan.

Haya’ mengajarkan kita untuk tidak malu bertanya tentang hal yang tidak diketahui dalam urusan agama, tidak malu mengakui kesalahan, dan tidak malu untuk menjadi berbeda dalam kebaikan. Ini adalah keberanian yang lahir dari ketakwaan, bukan dari kesombongan.

Manfaat Memiliki Sifat Haya’: Perhiasan Diri dan Masyarakat

Menumbuhkan sifat haya’ dalam diri akan membawa berbagai manfaat yang luar biasa, baik bagi individu maupun kehidupan bermasyarakat:

  • Perisai dari Maksiat: Haya’ menjadi benteng pertama yang mencegah seseorang terjerumus dalam dosa dan kemaksiatan. Rasa malu kepada Allah dan pandangan manusia akan membuat seseorang berpikir ulang sebelum melakukan hal-hal yang dilarang.
  • Meningkatkan Ketakwaan: Dengan adanya haya’, seseorang akan lebih merasa diawasi oleh Allah SWT, sehingga ia akan berusaha keras untuk selalu berbuat baik dan menjauhi larangan-Nya.
  • Membangun Kehormatan Diri: Seseorang yang memiliki haya’ akan dihormati dan disegani oleh orang lain karena perilaku dan perkataaya yang terjaga. Ia tidak akan mudah merendahkan diri demi sesuatu yang tidak bernilai.
  • Memperkuat Hubungan Sosial: Haya’ mendorong seseorang untuk berperilaku sopan, berkata jujur, dan menghargai orang lain, yang pada akhirnya akan memperkuat tali silaturahmi dan menciptakan masyarakat yang harmonis.
  • Menciptakan Ketenangan Hati: Orang yang memiliki haya’ cenderung memiliki hati yang lebih tenang karena ia merasa tidak melakukan hal yang memalukan atau merugikan orang lain.

Baca juga ini : Bekali Anak dengan Adab Lisan Mulia: Jujur, Baik, dan Anti Menyakiti Sesuai Tuntunan Islam

Cara Menumbuhkan Haya’ dalam Diri: Langkah-Langkah Praktis

Menumbuhkan haya’ memerlukan latihan dan kesadaran yang terus-menerus. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan:

  1. Memperkuat Keimanan kepada Allah: Sadari bahwa Allah SWT selalu melihat dan mengetahui setiap perbuatan kita. Rasa malu kepada-Nya adalah tingkatan haya’ tertinggi.
  2. Mempelajari Sirah Nabi dan Para Sahabat: Teladani kehidupan Rasulullah SAW dan para sahabat yang sangat menjaga haya’-nya. Kisah-kisah mereka adalah sumber inspirasi yang tak terbatas.
  3. Menjaga Pandangan, Lisan, dan Perbuatan: Latih diri untuk selalu menjaga anggota tubuh dari hal-hal yang dilarang. Hindari melihat aurat, berbicara kotor, atau melakukan tindakan yang tidak pantas.
  4. Memilih Lingkungan yang Baik: Berkumpul dengan orang-orang saleh dan lingkungan yang mendukung kebaikan akan membantu kita menjaga dan menumbuhkan haya’. Lingkungan yang buruk justru bisa mengikis rasa malu.
  5. Merenungkan Akibat Buruk dari Perbuatan Tanpa Haya’: Pikirkan dampak negatif dari perilaku tidak malu, baik di dunia maupun di akhirat. Ini akan memotivasi kita untuk lebih menjaga diri.
  6. Berdoa kepada Allah: Mohon kepada Allah agar dikaruniai sifat haya’ dan dijauhkan dari perbuatan tercela.

Haya’ adalah perhiasan seorang Muslim yang tidak lekang oleh waktu dan tidak pudar oleh zaman. Ia adalah mahkota yang menghiasi akhlak, memancarkan aura kehormatan, dan menuntun pada jalan kebaikan. Dengan menumbuhkan haya’, kita bukan hanya membangun karakter positif yang kuat, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang lebih beradab dan bertakwa. Mari jadikan haya’ sebagai bagian tak terpisahkan dari kepribadian kita, menyeimbangkan kesantunan dengan keberanian, demi meraih rida Allah SWT dan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat. Jangan lupa untuk selalu memastikan produk yang kita konsumsi adalah halal dengan sertifikasi halal dari lembaga yang kredibel seperti LP3H Darul Asyraf.

You may also like