Di antara gemerlap nama para sahabat Nabi Muhammad SAW, ada pula generasi setelahnya yang tak kalah mulia, yaitu para tabi’in. Mereka adalah generasi yang hidup di masa para sahabat dan mengambil ilmu serta teladan langsung dari mereka. Salah satu mutiara terbaik dari generasi ini adalah Ar-Rabi’ bin Khutsaim. Nama beliau mungkin belum sepopuler beberapa sahabat agung, namun kisah hidupnya adalah cerminan kezuhudan dan ketaatan luar biasa kepada Allah SWT yang patut kita renungkan dan teladani di zaman serba modern ini.
Ar-Rabi’ bin Khutsaim adalah seorang ulama besar dan ahli ibadah dari kalangan tabi’in yang berasal dari Kufah. Beliau dikenal memiliki akhlak mulia, ketakwaan yang mendalam, serta sangat menjaga diri dari gemerlap dunia. Kezuhudaya bukan berarti menjauhi dunia secara total, melainkan menempatkan dunia pada porsinya yang benar, tidak sampai menguasai hati dan melalaikan dari tujuan akhirat. Bagi Ar-Rabi’, dunia hanyalah jembatan menuju kehidupan yang kekal, sehingga segala sesuatu di dalamnya harus dimanfaatkan untuk meraih ridha Ilahi.
Memahami Konsep Zuhud: Bukan Berarti Miskin, Tapi Hati yang Kaya
Seringkali, zuhud disalahartikan sebagai kemiskinan atau hidup serba kekurangan. Padahal, zuhud yang hakiki, sebagaimana dicontohkan oleh Ar-Rabi’ bin Khutsaim, adalah kondisi hati yang tidak terikat pada dunia meskipun ia berada di genggaman. Harta, pangkat, atau kedudukan tidak membuat hatinya condong dan melupakan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
“Bukanlah zuhud di dunia itu mengharamkan yang halal, dan bukan pula menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud di dunia itu adalah engkau lebih percaya kepada apa yang ada di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika engkau ditimpa suatu musibah, engkau lebih mengharap pahalanya daripada musibah itu sendiri.” (HR. Tirmidzi)
Ar-Rabi’ bin Khutsaim benar-benar menghayati makna zuhud ini. Konon, beliau sangat menjaga lisaya, jarang berbicara kecuali dalam urusan kebaikan, dan selalu merenungi kebesaran Allah. Pakaiaya sederhana, makanaya secukupnya, dan tidak ada kemewahan dunia yang menarik perhatiaya. Beliau menyadari betul firman Allah SWT dalam Surah Al-Kahfi ayat 45:
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka tumbuhlah dengan suburnya tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Kahfi: 45)
Ayat ini menjadi pengingat bagi Ar-Rabi’ bahwa dunia ini fana, keindahaya hanya sesaat, dan segala sesuatu akan kembali kepada Allah. Oleh karena itu, beliau memilih untuk mengisi hidupnya dengan bekal terbaik untuk akhirat. Kezuhudaya ini justru membebaskan jiwanya dari belenggu keinginan dunia yang tiada henti, membawa ketenangan batin yang luar biasa.
Baca juga ini : Menaklukkan Rasa Takut Gagal (Atelophobia) dengan Kekuatan Iman dan Tawakal
Ketaatan yang Menggetarkan Hati
Selain kezuhudaya, Ar-Rabi’ bin Khutsaim juga dikenal dengan ketaataya yang mengagumkan. Ibadahnya sangat intens dan penuh kekhusyu’an. Beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat menjaga shalatnya, bahkan dalam kondisi sakit sekalipun. Dikisahkan, suatu ketika beliau sakit lumpuh dan harus digotong untuk pergi ke masjid demi menunaikan shalat berjamaah. Ketika ada yang bertanya mengapa ia bersusah payah demikian, beliau menjawab, “Saya mendengar seruan Hayya ‘alash shalah, Hayya ‘alal falah (mari menunaikan shalat, mari meraih kemenangan), dan saya tahu bahwa kemenangan itu ada di sana.”
Jawaban ini menunjukkan betapa mendalamnya pemahaman beliau tentang panggilan Allah dan urgensi shalat berjamaah. Beliau menganggap panggilan adzan adalah seruan langsung dari Allah yang tidak bisa diabaikan, bahkan oleh keterbatasan fisik. Ini adalah cerminan keimanan yang kokoh, bahwa prioritas utama seorang hamba adalah memenuhi hak-hak Allah.
Intensitas Dzikir dan Tilawah Al-Quran
Ar-Rabi’ bin Khutsaim juga tak pernah luput dari dzikir dan tilawah Al-Quran. Lidahnya senantiasa basah dengan mengingat Allah, dan hatinya selalu terpaut pada kalamullah. Beliau memahami bahwa dzikir adalah penenang hati, sebagaimana firman Allah SWT:
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Dalam tilawah Al-Quran, beliau tidak hanya membaca, tetapi juga merenungi setiap ayat, seolah-olah ayat tersebut diturunkan kepadanya secara langsung. Hal ini menjadikan Al-Quran bukan sekadar bacaan, melainkan petunjuk hidup yang mengalir dalam darah dan dagingnya. Kekhusyu’an dan penghayatan yang dalam inilah yang membuat ibadahnya begitu hidup dan bermakna.
Baca juga ini : Dzikir dan Shalat Malam: Kunci Ketenangan Jiwa di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Ketakutan kepada Hari Akhirat dan Harapan kepada Rahmat Allah
Salah satu pendorong utama ketaatan Ar-Rabi’ bin Khutsaim adalah ketakutan yang mendalam akan hari perhitungan di akhirat dan siksa neraka, sekaligus harapan yang besar akan surga dan rahmat Allah. Beliau seringkali menangis ketika membaca atau mendengar ayat-ayat tentang azab, dan juga menangis haru ketika membaca ayat-ayat tentang kenikmatan surga.
Ketakutan ini bukan ketakutan yang membuat putus asa, melainkan ketakutan yang memotivasi untuk beramal shalih. Beliau memahami bahwa dunia ini adalah ladang amal, dan setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim)
Hadits ini semakin mengukuhkan pandangan Ar-Rabi’ tentang dunia yang fana dan akhirat yang kekal. Beliau menjalani hidup seolah-olah setiap hari adalah hari terakhirnya, sehingga setiap detik diisi dengan ibadah dan ketaatan.
Ar-Rabi’ bin Khutsaim: Inspirasi untuk Kita Hari Ini
Kisah Ar-Rabi’ bin Khutsaim, dengan kezuhudan dan ketaataya, adalah lentera penerang di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang seringkali melenakan. Di era di mana materialisme dan hedonisme merajalela, teladan beliau mengajarkan kita pentingnya menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat. Beliau mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati bukanlah pada banyaknya harta atau tingginya jabatan, melainkan pada kedekatan dengan Sang Pencipta dan hati yang bersih.
Meneladani Ar-Rabi’ bukan berarti kita harus meninggalkan pekerjaan dan hidup menyendiri. Justru, teladan beliau mengajarkan kita untuk tetap produktif di dunia, namun dengan hati yang tidak melekat padanya. Menggunakan segala karunia Allah untuk beribadah dan menebar kebaikan, serta selalu mengingat bahwa semua adalah titipan yang akan dimintai pertanggungjawaban. Mari kita jadikan kisah Ar-Rabi’ bin Khutsaim sebagai inspirasi untuk menguatkan iman, meningkatkan ketaatan, dan menata hati agar selalu terpaut pada Allah SWT.

Salut sama Ar-Rabi’ bin Khutsaim. Kezuhudan dan ketaatannya itu lho, bikin hati adem dan jadi pengingat buat kita semua. Teladan yang luar biasa, memang abadi!